Nasehat bagi orang-orang yang mengedepankan perasaan dan gemar untuk mencela dan meyebarkan kesalahan/kekurangan pemerintah di mimbar-mimbar. Biasanya karena kebijakan-kebijakan seperti kenaikan BBM, kenaikan dollar, anjloknya rupiah,dll. Padahal Mencela Penguasa (presiden) yg masih muslim telah diHARAMkan Oleh Allah dan Rosul-Nya!!
Landasan Wajibnya Taat Kepada Pemerintah Muslim dan Larangan Mencela Mereka, Diambil dari Al quran, As Sunnah (Ajaran Rosul), dan Pemahaman Para Shahabat (Slafush Shalih):
Dari Alquran, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيَّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ
وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian.” (An-Nisa`: 59)
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Yang dimaksud dengan Ulil
Amri adalah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan untuk ditaati
dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama
terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta yang
lainnya.”(Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)
Adapun baginda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka
beliau seringkali mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini.
Di antaranya
dalam hadits-hadits beliau berikut ini:
1. Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu 'anhu
berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ! لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ
اتَّقَى، وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ- فَذَكَرَ الشَّرَّ- فَقَالَ: اتَّقُوا
اللهَ وَاسْمَعُوا وَأَطِيْعُوا
“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang
ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan
terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan
kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada
Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam
Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah
Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)
2. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ،
وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ، قُلُوْبُهُمْ
قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِيْ جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ (حُذَيْفَةُ): قُلْتُ:
كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ
وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ
وَأَطِعْ!
“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang
mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku.
Dan akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan
namun berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku
mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya
engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan
hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).”
(HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no.
1847)
3. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ
وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ
اللهُ! أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ
الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ
فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci
dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci
kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami
memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama
mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat
mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya
dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat
‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)
Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang daerah, pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini, sebagaimana berikut:
Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu berkata:
“Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang
jahat sekalipun.” Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa
yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?” Ali bin Abi
Thalib berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah
Subhanahu wa Ta'ala tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan
dan pemimpin dalam jihad…” (Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13,
hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin
Barjas hal. 57)
Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi berkata: “Adapun
kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat
jahat. Karena tidak menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan
kerusakan yang jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam
kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta
(mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal.
368)
Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah bahwa
kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang
Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan
kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan
bersamanya akan mendapat pahala yang sempurna insya Allah. Yakni kerjakanlah
shalat berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersama mereka, dan juga
berpartisipasilah bersamanya dalam semua jenis ketaatan (yang dipimpinnya).”
(Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari Qa’idah
Mukhtasharah, hal. 14)
Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari berkata: “Telah
sepakat para ulama ahli fiqh, ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari kalangan
Ubbad (ahli ibadah) dan Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak generasi pertama umat
ini hingga masa kita ini: bahwa shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha,
hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan qurban dilakukan
bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat.” (Al-Ibanah, hal. 276-281,
dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal. 16)
Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Aku telah bertemu dengan
1.000 orang lebih dari ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith,
Baghdad, Syam dan Mesir….” Kemudian beliau berkata: “Aku tidak melihat adanya
perbedaan di antara mereka tentang perkara berikut ini –beliau lalu menyebutkan
sekian perkara, di antaranya kewajiban menaati penguasa (dalam hal yang
ma’ruf)–.” (Syarh Ushulil I’tiqad Al-Lalika`i, 1/194-197)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam
hadits ini (riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah di atas,
-pen.) terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam
perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga
persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat
kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Sumber : Dari Tulisan Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
di Majalah Asy
Syariah berjudul "Shaum Ramadhan dan Hari Raya Bersama
Penguasa, Syi'ar Kebersamaan Umat Islam"
0 komentar:
Posting Komentar